Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Budaya kritis di jaman sekarang

Ada banyak anggapan miring jika kita menerapkan pola pikir kritis di jaman sekarang ini. Menjadi orang yang kritis, akan diberi label tukang kritik dan tukang protes. Anggapan ini, sering kali membuat kita berpikir dua kali untuk menyikapi sebuah persoalan. Benarkah budaya kritis tak lagi relevan di jaman sekarang ?

belajar untuk menerapkan budaya berpikir kritis
Foto oleh Juhasz Imre dari Pexels

Melihat percakapan di media sosial belakang ini, membuat saya ingin tertawa. Banyak sekali politikus dadakan yang membahas dunia perpolitikan di Indonesia. Mulai dari pemerintah pusat sampai desa, menjadi perdebatan yang rasanya tidak ada habisnya untuk dibahas. Mulai dari pembangunan, sistem pemerintahan, sampai kinerja para pejabat mendapat sorotan cukup serius di masyarakat.

Rata-rata berkisar kritikan yang cenderung mengungkapkan ketidak puasan akan kinerja pemangku pemerintahan. Jika kritik maupun saran mulai dilontarkan oleh sebagian orang, sebagian lainnya akan membela dengan berbagai argument. Meskipun kebanyakan, endingnya melupakan rasionalitas dalam beradu argumen. Ketika mencapai kondisi seperti itu, saya hanya tertawa saja.

Kadang saya ingin ikut nimbrung dalam perdebatan yang tiada ujung itu. Tapi, setelah beberapa kali berpikir, nanti saya jadi emosi sendiri ketika mendapati lawan diskusi mulai ngotot menggunakan argument yang secara perlahan menyerang wilayah pribadi. Niat untuk menanggapi pun sekejap terbang bersama hembusan asap pipa kesayangan.

Ada satu kesamaan topik disemua perdebatan dan pembahasan yang saya ikuti, yaitu tentang pembangunan, uang, dan kinerja. Mulai dari group di facebook, twitter, maupun media sosial lainnya, tiga hal itu yang selalu asyik untuk dibahas. Pada prinsipnya, saya mengapresiasi sikap kritis teman-teman saya diluar sana. Tetapi, saya juga merasa prihatin dengan sikap balasan yang dilakukan oleh, teman-teman saya juga. Kedua belah pihak sama-sama teman main dan teman ngopi. Bisa dibilang teman ngakak setiap hari.


Kenapa selalu soal uang


Pembangunan jalan itu harusnya begini, begitu, begono, begindang. Jadi mari kita kawal dan kita awasi bersama, jangan sampai terjadi penyelewengan. Proyek pengerjaan jembatan itu dana dari atas segini lho, jadi mari kita kontrol dengan ketat agar sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan. Kurang lebih percakapannya seputar itu. Hampir setiap hari seperti itu.

Kita harus tahu kemana dana desa mengalir, jangan sampai salah sasaran. Jangan asal terima jika mendapat laporan penggunaan dana desa, harus kita cek langsung ke lokasinya, lihat hasil kerjanya, teliti bahan yang digunakan, apakah sesuai pagu anggaran yang dilaporkan apa tidak. Ini pembahasan kedua yang juga mendapatkan balasan puluhan bahkan sampai ratusan di medsos.

Kedua contoh diatas menjadi topik utama di group yang tujuan awalnya dibuat untuk membangun dan memajukan desa tercinta. Semua anggota group sepakat dengan deskripsi dan tujuan dibuatnya group diskusi tersebut, yaitu untuk perkembangan desa tercinta. Apakah salah sikap tersebut, saya rasa tidak, namun menurut saya tidak sesuai dengan tujuan dari dibuatnya group diskusi tersebut.

Banyak yang melihat dari sudut pandang fisik semata. Tujuan ingin membangun desa hanya berhenti pada pembangunan infrastruktur dan pembangunan fisik lainnya. Padahal jauh diatas itu, pembangunan mental manusia dan pemberdayaan masyarakat jauh lebih penting. Membangun desa harus dimulai dari kesadaran masing-masing masyarakatnya agar mempunyai prinsip yang jelas tentang apa yang bisa saya berikan kepada desa saya tercinta.

Pernahkah kita berpikir membentuk kelompok-kelompok kecil di tingkat RT atau Dusun untuk belajar bersama bagaimana mengembangkan potensi daerah yang dimiliki. Bagaimana menciptakan kegairahan masyarakat untuk mencapai cita-cita dan impiannya dalam menghadapi persaingan global. Mengusulkan pelaksanaan workshop-workshop yang berguna untuk meningkatkan ketrampilan dan kemampuan di bidang yang sesuai dengan karakteristik masyarakat dan daerah.

Kenapa selalu berakhir soal pengawasan pembangunan ? Pernahkah terpikirkan jika masyarakatnya makmur dan jadi pinter-pinter, otomatis soal pembangunan fisik akan terlaksana dengan sendirinya. Ya, kembali lagi pada kadar kekritisan yang dimiliki. Kadang susah membedakan antara benar-benar peduli atau cuma cari sensasi.

Kritis sesuai porsi dan tujuan


Kita harus jadi orang kritis, tetapi harus sesuai dengan tujuan kenapa kita harus kritis. Masyarakat kita sekarang ini, sudah pintar-pintar semua. Jika kita hanya mencari sensasi belaka, atau malah jadi kritis karena tidak mendapat tempat yang diinginkan, bisa-bisa hanya dikacangin oleh masyarakat saja. Kritislah pada hal yang tepat, yang tidak melulu soal fisik, tetapi bagaimana membentuk budaya di masyarakat yang akan membuat pemikiran dan pergerakan bersama untuk membangun desa.

Tidak perlu susah-susah setiap hari mengawasi dan mengawal proses pembangunan fisik yang dilakukan pemerintah. Sudah ada pengawas di masing-masing bidang. tinggal kita minta waktu untuk dijadwalkan bertemu dengan pengawas yang ditunjuk untuk berdiskusi bersama sekaligus meminta laporan secara terperinci jika membutuhkan kejelasan pelaksanaan proyek. 

Jadi kekritisan kita bisa menemukan tempat yang tepat dan sesuai dengan tujuan besar yang telah ditetapkan. Tulisan ini saya buat karena mulai merasa budaya kritis yang tercipta mulai melenceng dari budaya kritis yang seharusnya tercipta di era demokrasi ini. Para pejuang kemakmuran desa, mari kita duduk bersama sambil ngopi mendiskusikan nasib anak-anak muda di desa kita. Ilmu apa yang bisa kita tularkan dan kita berikan untuk kemajuan mereka. Mari kita mulai berpikir bagaimana mengelola dan mempromosikan ciri khas daerah kita demi kemakmuran bersama.

Dengan begitu, budaya kritis akan menjadi alat kemakmuran dan kemajuan kita bersama. Jangan salah mengkritisi persoalan yang ada didepan kita.

Salam            

wiwid kurniawan
wiwid kurniawan Tidak ada kata terlambat untuk belajar

Posting Komentar untuk "Budaya kritis di jaman sekarang"